Sabtu, 12 November 2011

CERPEN UNTUK NINA


Sore hari tanpa cahaya.Sunset pun hanyalah khayalan bodoh yang ku fikirkan.Ku tutup mataku mencoba meresapi dinginnya hawa pantai kuta.”Woi…..”Sekilat  suara membuat jantungku kembang kempis seolah-olah seekor harimau jantan ingin menerkamku.”Ngelamun aja kerjaannya…udah,,,,,jangan pikirin dia lagi,ada yang jagain kok..”.”apaan sih….aku gak mikirin siapa-siapa kok”.Nina ,sobat karibku sejak aku SD lagi-lagi tahu apa yang ada di benakku.

            Sudah dua tahun aku merantau di Bali,berharap lembaran hijau dari bule-bule selalu mengejar dompetku ibarat ikan sarden yang berebut satu mata kail yang dilemparkan nelayan yang tepat beberapa meter dihadapan mataku.”Nin,aku boleh curhat gak…???”.”Curhat aja….masa lo ga pecaya ama gue sih..”.”Gue mau berhenti aja,gue kepengen banget ke Amrik…”.Tatapan mata Nina berubah,pupilnya membesar,dan sebuah ejekan menusuk katup jantungku.”apa…???amrik….lo mau jadi apa…????”.Sesaat aku menatap mata Nina,mencoba melawan arus ejekan yang sangat kuat darinya.”Gue mau menjadi penulis terkenal di sana”,jawabku dengan keraguan yang mantap.Nina hanya memandangku sinis dan pergi bersama arus ombak yang begitu riuh.



             “Dan yang mewakili kampus kita dalam International Scoolarship adalah………..Reza Buantika”.Sebuah kalimat yang ku harapkan dari Rektorku 5 bulan silam.Dan sekarang aku tidak dimana-mana,di sini,di Amerika Serikat.
Menjelajahi waktu dan menjadi tumbal ejekan bagi kawan-kawanku adalah cerita lama.Sekarang aku disini,menjadi seorang dokter muda yang dihormati,dilayani bak Ratu Bilqis di zaman Nabi Sulaiman.”owhh….it’s too sick,,,,help me..”,sebuah rengekan dari bocah bule yang selalu ku dengar selama beberapa hari ini.”yeah,,,I see…now,put your hands up and make your knees higher than your heart…ok,,,,now do it,,”.Itulah yang slalu ku lakukan kepada pasien pertama ku ini.Diana Angelica itulah nama aslinya,tetapi aku lebih suka memangginya Dian.



            Melewati empat musim pertama bukanlah hal yang mudah.Memang setiap hari aku disuguhi kehidupan yang serba mewah yang jauh dari impianku sebelumnya.Tetapi bukan kemewahan seperti ini yang ku inginkan,tanpa teman,tanpa orang yang bisa mengerti setiap ucapan asing yang aku ucapkan.
            Tok…tok…tok….  “yes…come in”.Seperti biasa seseorang bekulit putih dengan mata ber selaput pelangi biru datang dengan senyuman yang sangat jelas tersirat di wajahnya.Mobius Syndrom yang diderita Dian membuat segala ekspresi wajahnya tersirat begitu dalam dan hanya dimengerti oleh beberapa orang yang dekat dengannya,yaitu orang tua nya dan beberapa dokter yang menangani penyakit Dian termasuk aku.Dian berlari menuju kursi  lapuk yang kududuki dan langsung memberikan insyarat untuk memangkunya dan memberikan sebuah kecupan hangat di keningnya.Itu lah kegiatan rutin yang selalu aku lakukan sebelum menyambut pasien-pasien ku yang lain.Ntah kenapa Dian merasa nyaman di dekatku.Mungkin karena dandanan ku yang aneh dengan jilbab dan celana putih panjang,berbeda dengan dokter-dokter lain di tempat ini.



            Dua tahun sudah aku berpetualang hidup di Amerika.Dinginnya sang kabut meresap ke pori-pori kulitku,memaksa dendrit dan akson-aksonku untuk menghantarkan mereka ke syaraf pusat ku.Sesaat syaraf pusatku bereaksi dan mengirimkan perintah untuk menggulungkan sehelai syal ke leher ku.Aku termenung mengingat impianku masih ada yang tersisa.Tiba-tiba kaki ku melangkah cepat,berlari dan tidak berhenti sampai ke sebuah bangunan tua.Ku keluarkan note book mini ku,jari-jari mungil ini lansung bergerak.Satu huruf,Satu kata,Satu kalimat dan sampai satu karangan aku ciptakakan.Ntah mengapa tiba-tiba aku menulis cerita ini dan tanpa diperintah kaki ku melangkah menuju banguan tua dihadapan ku itu  dan lansung menyerahkan sehelai kertas hangat yang baru saja aku print kepada seorang wanita cantik dengan pakaian yang rapi di belakang sebuah meja tua yang antik.”I will give the information next week”,katanya dengan ramah.”yes miss. Thanks”.

            Ku buka jendela bundar kamarku.Seorang pria dengan sepeda hitamnya melemparkan sebuah gulungan koran ke halaman rumah ku.Sebuah halaman yang sama dengan tanggal lahirku terbuka ditiup angin dingin yang tertinggal dari kawanannya.AAAAAAAAA.......teriakanku memecah pagi itu.Kata-kata syukur tak henti-hentinya mengalir berzikir dari mulutku karena karanganku dimuat di koran nasional.Hal yang tak pernah ku sangka,bukan di koran local tapi di koran nasional Amerika.Alhamdulillah.
            Bukan hanya menjadi seorang dokter muda,tetapi juga seorang penulis karangan di Amerika.Dan sekarang ku buktikan pada Mina kalau aku bisa dan aku mampu.Dan cerpen pertama ku adalah CERPEN UNTUK NINA.

LENTERA DANAU LACT SEPT-ILES


-Perjalanan cintaku tlah habis di makan waktu.Sekarang saatnya ku labuhkan diriku dibumi yang ku     injak ini-

          Ku baca berkali-kali tulisan yang condong kea rah timur laut ini tanpa tau apa maksudnya. “akhi,itu surat terakhir Madon yang diamanahkan kepada ambo”.Zaky,sahabatku sejak didalam kandungan memandangiku dengan wajah pucat sambil merobek-robek tisu yang ada ditangannya.
“nggak ky,waang jangan becanda ky…….ambo tau waang pasti boong,gak ky……Madon belum mati ky….itu gak mungkin” .
         
          Ku tutup muka pucat ku ini dengan kedua tanganku sambil meremas kertas yang hampir koyak karena bercampur dengan keringat dan air mataku.”gak….gak mungkin,,,,,,MAADOOONN”,teriakku sambil menepis arus danau Lact Sept-Iles yang tepat berada di depan pelupuk mataku.
             
Ku alih pandanganku ke ujung horizon.Deretan pegunungan Lurentides memutar otakku ke dua tahun silam saat aku dan Madon berkenalan di puncak Gunung Marapi di ranah kelahiranku.Ku picingkan mata sekuat hati dan kubiarkan rasa ini tenggelam ke dasar Danau Lact Sept-Iles.”Bang,ikhlaskan sajalah dia…..kau itu tampan,,,,masih banyak orang yang mau sama kau itu..”,sesayup suara terdengar dari belakangku,membuat hati ku ini luruh ke inti bumi.”bagi kalian Madon memang tak penting,tapi bagi ambo matinya Madon adalah matinya ambo”,kataku menepis segala ricuh di senja itu.

          Langkah kaki ini begitu berat,serasa ada tambang dari danau yang menahan kakiku ini.Ku masukkan ke dua tanganku ke dalam saku jaket  tebal yang ku kenakan sambil meremas kembali surat terakhir Madon yang di tujukan untukku.



         
          Hawa dingin danau Lact Sept-Iles merasuk sampai ke tulang rusukku.Ku pandangi lagi surat Madon yang telah berwarna coklat seperti daun maple yang berguguran dihadapanku.
“sorry…is it Lact Sept-Iles…..???”.sesosok suara datang dari sampingku.”maaf…oup…sorry…pardon me…!!!”kata ku.Gadis berambut coklat itu tersenyum dan menyodorkan tangannya padaku.”Maaf,kamu orang Indonesia…????...bisa berbahasa Indonesia????”.”Iyo,ambo orang Indonesia,dari padang…”,jawabku.
Sesaat hawa berubah menjadi panas.Aku pandangi terus sebuah benda yang dikalungi di leher gadis itu.”kamu belinya di mana….????”Tanya ku  ragu-ragu.”oh kalung ini,,,,,ini ibu aku yang kasih…..gambar kalung ini sesuai dengan namaku ,,,,,Lentera”,jawabnya dengan singkat.
Setelah bercakap-cakap dengan gadis yang bernama Lentera ini,Lentera di hati pun kembali bersinar.Ku pandangi lagi dan lagi surat tua Madon.”Madon,apakah kau akan menjelma sebagai lentera…??”,tanyaku dalam hati.Hati ku ini serasa tidak karuan.Setelah bertemu dengan Lentera ,aku mendadak amnesia dan membiarkan kenangan-kenangan bersama Madon di bawa angin dingin Lact Sept-Iles.


          Tiga tahun aku berjuang di Kanada bersama tiga konco palangkinku,berniat di awal setelah mendapatkan gelar Master nanti,kami akan pulang dari perantauan untuk meminang gadis pilihan kami.”woi abang,,,bagaimana kau ini….katanya pingin cepat dapat gelar master…..belajar saja kau malas”,sebuah tepukan dari raja di hantamkan ke pundak ku yang kekar ini.”waang ko lai ja,,,percuma ambo mandapekan gelar tu,,,,,,,,,siapo nan ka ambo pinang di kampuang ja…”kataku sambil membalas hantaman Raja.Sesaat kami terdiam ,dan muncul sebuah pertanyaan pamungkas dari Zaky.”Hakim,waang suko ka si Lentera…???”,aku terdiam,lidahku serasa kaku tidak bisa di julurkan seperti biasanya.”Dulu waang bilang matinya Madon adalah matinya waang,,,,,tapi..sekarang waang malah terlena samo Lentera….apo waang ndak kasian samo Madon….???? Tanah kuburannyo se masih basah….”,sebuah ucapan dari Zaky menggigit telinga ku.Aku simpan amarahku di dalam hati mengingat ini juga kesalahanku.

          Bercakap-cakap tentang Lentera,aku teringat padanya.Sudah tiga hari Lentera tidak ke danau.Ku ambil sehelai  euro yang sengaja ku simpan di sebo kebanggan ku.Ser-sisco no.13,sebuah alamat yang akan ku kunjungi hari ini.

          Berselimuti shall pemberian Madon,Aku berjalan gontai menuju sebuah kamar di apartmen Sisco.“excuse me”,kataku sambil menyodorkan sehelai kertas kepada seorang wanita tua yang berdiri di belakang meja informasi.Di kanada semuanya berbahasa prancis,bahasa inggris hanya boleh di pakai saat penyampaian mata kuliah.biasanya aku mengandalkan Zaky yang fasih berbahasa prancis saat berada di luar asrama.Tapi tidak untuk hari ini.”No,Lentera no….hmm….we did’t have a guess named Lentera”,kata wanita tua itu dengan tepatah-patah.”check it again mam…please”,rengekku.
Sudah berkali-kali wanita itu mencari nama Lentera,tetapi tak ada satupun yang bernama Lentera.

          Sesaat,sebuah benda putih lembut dan basah jatuh di pipi ku.Dan saat itu juga terdengar suara raja dari atas asrama.”Haaaakiiiiimmmm……..ada salju euy,seperti es tebak di kampong kau,”teriaknya.Untunglah hanya kami ber tiga yang mengerti bahasa Indonesia di disini,sehingga aku tak perlu menyembunyikan Maluku karena tingkah keudikan Raja.”iyooo  ja……mirip es tebak”balas ku.
          Di belakangku terdengar teriakan Zaky yang sayup-sayup karena banyaknya salju yang turun menghalangi gelombang suaranya.”Ky….ambo di siko”teriakku sekeras mungkin.Zaky terus berlari menuju ke bekas pijakanku.Wajahnya pucat dan suaranya pun bergetar.”Hakiim baco ko a”pintanya.Sebuah Koran usang dari Jakarta.Di sebuah kolom besar tertulis judul korban kecelakaan pesawat merpati jurusasn Jakarta-amerika.”Yo,,,,ky lah amboikhlaskan Madon nyo ky”,kataku.”Indak,yang nomor duo terakhir”,katanya.Dengan sedikit bingung ku baca dengan teliti sebuah nama di nomor dua terakhir.”Lentera Alam M.,,”,aku terdiam sambil menatap Zaky.”Hakim,waang pernah bilang Lentera tingga di Sisco kan…???”Tanya Zaky sontak.”Iyo ky”jawabku.

          Sekejap Zaky menarik tanganku dan membawaku kembali ke Sisco .Tepat di hadapan kamar dengan no.13,seorang wanita paroh baya keluar dan menatap kami sambil tersenyum.”Maaf,anda ibunya Lentera???”Tanya Zaky kepada wanita itu tanpa basa basi.”Iya,,saya ibunya almarhumah Lentera “,jawabnya bingung.Tak ku duga,kaki kekarku yang biasa ku bawa berlari kemana-mana runtuh tak berdaya.Wanita itu melihatkan foto se sosok wajah gadis manis dengan kalung lentera dilehernya.Tepat,memang Lentera.”Dia meninggal saat kecelakaan pesawat tiga bulan yang lalu,dan lenteranya hilang”,jelas wanita itu yang akhir-akhir ku tahu namanya bu Dewi.
”Kim,tadi ambo dapat kiriman dari ayahnya Madon,apa ada hubungannya ya..???”.Sebuah bingkisan kecil diberikan kepada ku.Di dalam bingkisan itu terdapat tulisan yang tak asing lagi di mataku .punya Lentera.Hanya kalimat singkat itu,tidak ada surat yang lain di dalam bingkisan merah itu.Sebuah benda yang juga taka sing di mataku keluar dari bingkisan itu.”Ini kalungnya Lentera”,kataku dengan gagu.Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

”Madon,,,,Lentera…….apa sebenarnya ini….????”.sebuah pertanyaan yang sampai detik ini selalu terngiang di telingaku…    

***END***

by:  UTARI INTAN PERTIWI
Inspired by my self….

cerita ini hanya fiktif belaka,apabila terdapat kesamaan nama,tempat atau kejadian bukan kesalahan saya……..HARAP MAKLUM…..